Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah [9]:111)
Umumnya ayat tersebut sering dibahas berkaitan dengan motivasi berjihad di jalan Allah. Namun pada tulisan ini kami ingin mengajak kita semua untuk memahaminya dari sisi yang lain, yaitu yang menggambarkan keyakinan yang sedalam-dalamnya dalam diri orang -orang yang beriman terhadap nikmat dan keindahan surga. Keyakinan itulah yang memotivasi siapapun untuk bersusah payah dalam berjihad demi keyakinannya terhadap surga yang telah dijanjikan Allah Swt.
Beberapa mujahid yang keyakinannya terhadap surga begitu tinggi antara lain:
- Abu Thalhah Ra, walau berusia 90 tahun tetap memacu dirinya untuk berjihad.
- ‘Umair bin Al-Humam Ra yang segera menghentikan makannya karena tidak sabar ingin berjihad pada perang Badar.
- Hanzhalah Ra yang segera bergegas berangkat berjihad sehingga lupa mandi junub, lalu ketika para sahabat melihat ada tetesan air keluar dari telinga jasadnya, Rasulullah menjelaskan bahwa jenazahnya telah dimandikan oleh para malaikat.
Dari manakah semangat juang luar biasa ini? Semangat itu berasal dari kerinduan terhadap surga yang dijanjikan oleh Allah Swt.
Jika saat ini kita telah dikaruniai oleh Allah kedekatan dengan Al-Qur’an – apakah dengan membaca, menghafal, mengajarkannya atau mengkajinya dan lain sebagainya – tantangannya adalah bagaimana bisa bertahan dalam karunia Allah Swt itu dalam kurun waktu yang panjang, bahkan sampai akhir hayat. Jawabannya adalah kembali kepada harapan apa yang selalu kita rindukan dari Allah Swt.
Bila saat ini kita aktif dalam kegiatan berinteraksi dengan Al-Qur’an, tanyakan pada diri kita masing-masing: keyakinan apakah yang sesungguhnya melatarbelakangi kegiatan ini sehingga harus dipertahankan sedemikian rupa? Jika belum ada, kita harus segera mencarinya. Berikut ini adalah beberapa contoh keyakinan di balik kegiatan bersama Al-Qur’an.
- Keyakinan sebagian orang yang sudah lanjut usia/hidup di kampung/jauh dari pengaruh ghazwul fikr dalam hidup dengan Al-Qur’an.
Hal tersebut berasal dari keyakinan mereka akan balasan pahala dan fadhillah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada orang yang ber-taqarrub dengan Al-Qur’an. - Keyakinan para orientalis barat dalam mempelajari Al-Qur’an.
Jika mereka menguasai semua literatur Islam, mereka yakin akan lebih leluasa untuk memutarbalikkan nilai-nilai Islam dari nash-nash sesungguhnya, sehingga mereka bisa mengalahkan, menugasai dan menjajah umat Islam dalam kurun waktu yang lama. - Keyakinan para Qori’ dalam meraih kejuaraan MTQ.
Berbekal keyakinan itulah, mereka begitu sabar dalam meraih apa yang mereka inginkan. Tantangannya adalah bagaimana menumbuhkan sebuah keyakinan yang dapat menghasilkan energi sekuat yang dimiliki oleh orang-orang tersebut di atas.
Ada sebuah realita pada sebuah komunitas yang paham tentang pentingnya Al-Qur’an dalam proses aktivitas da’wah dan tarbiyah, bahkan terlibat aktif di dalamnya namun minimdan lemah semangat dan keyakinannya dalam meraih kemampuan berinteraksi dengan Al-Qur’an. Bagi kelompok ini, baru menghafal juz 30 saja masih dirasakan sebagai beban yang nyaris tidak bisa dilaksanakan . Jika demikian halnya, lalu bagaimana dengan yang leih berat dan besar daripada itu? Semoga Allah Swt senantiasa menunjukkan jalan yang Ia ridhai untuk kita semua. Analisa dari fenomena tersebut adalah:
- Belum terbentuk suatu sistem kehidupan yang secara otomatis mendorong seseorang untuk melakukan apa yang diyakininya. Dalam proses tarbawi dan da’awi, seorang yang belum hafal 30 juz belum malu/merasa kurang. Demikian pula kemampuan berinteraksi dengan Al-Qur’an belum menjadi sesuatu yang sangat didambakan dalam kehidupannya.
- Belum ada penghargaan yang tinggi dari masyarakat terhadap orang yang lebih menguasai dan memiliki kemampuan ilmu tentang Al-Qur’an sehingga muncul suatu kesan “untuk apa bersusah payah berkecimpung di bidang Al-Qur’an jika masyarakat belum mengerti urgensinya?”
Masyarakat sekarang lebih menghargai penceramah -orang menyebutnya da’i selebritis, peny – yang hanya bermodal keberanian berbicara dan popularitas, dibandingkan dengan guru Al-Qur’an yang memiliki kekayaan pengetahuan tentang ayat-ayat Al-Qur’an.
Lemahnya motivasi untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an dan minimnya keyakinan terhadap fadhillah-nya adalah penghambat perkembangan pendidikan Al-Qur’an. menjadi tugas kitalah untuk mengubah kedua fenomena tersebut, agar masyarakat menjadi lebih dekat dengan Al-Qur’an dan memahaminya dengan baik.
[Bagian 3 dari buku 17 Motivasi Berinteraksi dengan Al-Qur’an, karya KH. ‘Abdul ‘Aziz ‘Abdur Ra’uf, Al-Hafidz, Lc]